Sabtu, 29 Desember 2012

Pengalaman Franchisee yang Tidak Happy 5



Artikel ini adalah lanjutan dari bagian 1
 
Satu hal, dari pengalaman dua franchisee ini, ketika bisnis itu mulai mengalami penurunan, saran sederhana adalah dengan beriklan. Padahal, jauh dari itu, franchisee membutuhkan kedamaian psikologis dalam menjalankan bisnis sehingga apapun langkahyang ingin dilakukan untuk memajukan bisnis bisa dilakukan dengan happy.

Perilaku franchisor terhadap franchisee dan bisnisnya tidak bisa diabaikan begitu saja. Bahkan nama baik franchisor yang tercoreng atau image franchisor yang jatuh, bisa berdampak pada bisnis. Sebut saja, sebuah bisnis resto yang franchisornya dikenal berpoligami membuat konsumen yang umumnya keluarga harus meninggalkannya. Sehingga para franchisee ikut dirugikan.

Di sini, franchisor perlu menjadi bagian dari visi bisnis bahwa kesuksesan harus diaraih bersama dan tanggung jawabpun harus dibagi berdasarkan porsinya yang adil, sehingga bisnis bisa dijalankan dengan perpaduan sinergi franchisor dan franchisee.

Tetapi perlu dicatat, di setiap bisnis selalu ada yang gagal, tidak hanya yang sukses saja. Namun, jika faktor kegagalan bisa didiagnosa, sejak dini, bisnis tidak perlu gagal, dan franchisee tidak perlu kecewa. Apalagi bisnis franchise memiliki banyak resep anti gagal. Jika franchisee dan franchisor mengikuti langkah ini, seperti berbagai survey menyebutkan, bahwa kegagalan di bisnis franchise hanya sedikit saja, yakni maksimal sekitar 15% . Jauh di bawah ratio kegagalan bisnis konvensional yang mencapai 65%.

Pengalaman Franchisee yang Tidak Happy 4



Artikel ini adalah lanjutan dari bagian 1
Pandangan positif ketika hendak membeli hak waralaba terhadap bisnis franchise mulai terbalik dengan pengalaman Yulianti di bisnisnya itu. Menurutnya, bukan support yang didapatkan dari franchisenya, tetapi justru pressure. Bahkan, tanpa bantuan yang baik, justru kata Yulianti , franchisornya ingin menaikkan harga. “Lama kelamaan kok kita yang terus di push.” Tuturnya dengan nada kecewa.

Menurut Yulianti, karena tidak ditunjang sepenuhnya oleh inovasi, kemuadian standar SDM nya yang kurang baik karena training yang diberikan tidak bagus, sehingga kinerja bisnisnya tidak maksimal.

Baik Bimada maupun Yulianti mengaku salah memilih franchisor. Seharusnya,  kata mereka franchisor memiliki pengalaman yang kuat dan juga komitmen yang tinggi untuk bisa mendorong sukses franchiseenya.

Yulianti dan Bimada hanya sedikit dari merek yang mengalami pengalaman yang pahit dengan franchisornya. Meski tidak semua franchisor seperti yang digambarkan itu, namun franchisor yang hanya bisa membantu di tiga bulan pertama saja, tidak membuat bisnis itu bisa berkembang. Sebab, kerugian tidak hanya bagi franchisee, tetapi jaringan bisnis frnchisorpun bisa terhambat. Sebab, franchisee menjadi salah satu bukti sukses yang bisa merangsang calon-calon franchisee berdatangan.

Pengalaman Franchisee yang Tidak Happy 3



Artikel ini adalah lanjutan dari bagian 1
Latar belakang yang sama juga terjadi pada Yulianti, bukan nama sebenarnya. Tidak punya pengalaman di bisnis mendorongnya untuk membeli hak waralaba. Saat itu, dipikirkannya ada dua hal terhadap bisnis franchise. Pertama, tidak butuh pengalaman, untuk memulai bisnis. Kedua, bisnis franchise tinggal menjalakan saja karena sistemnya sudah disediakan oleh franchisor.

Dua pandangan itu kemudian bertemu dengan impian yang diberikan oleh franchisor yang menjanjikan bisnianya sangat bagus. Menurut penuturan yulianti, selama dia di prospek, tidak ada satupun  penjelasan mengenai kemungkinan gagal dan berbagai kendala yaang harus dihadapi dengan mental yang kuat sebagai pebisnis.

“Janjinya selalu bagus, bahwa bisnis ini menghasilkan peluang yang bagus. Mereka selalu menjelaskan yang bagusnya. Saya tidak dijelaskan kesulitan dan kesukaran yang mungkin dialami,” katanya mengisahkan.

Seperti apa bisnis yang dialami Yulianti? Menurut penuturannya, di awal peluang bisnis yang dijalaninya , itu terlihat bagus. Bahkan dia melihat ada potensi sukses pada bisnis yang dijalankannya.

Sayangnya, bukan hanya support yang tidak diberikan, bahkan bahan baku dari produk yang harus dijual pun tersendat-sendat dikirim oleh franchisornya. Menurut Yulianti, jika seperti itu bisnis tersebut sudah bisa dipastikan akan mati. Kasarnya, apa yang harus dijual jika bahan baku yang seharusnya disediakan oleh franchisor justru tidak ada.

Yulianti yang membeli hak waralaba di bisnis kecantikan itu harus menelan pil pahit. Dari sisi produk tidak disediakan, apalagi inovasi yang sangat dibutuhkan untuk bisnis kecantikan. “Kadang-kadang produknya tidak ada. Tidak ada pula penambahan produk baru. Bahkan inovasi pun tidak ada. Kalau untuk usaha kecantikan seperti  ini itu kita harus inovasi terus, kita harus mengikuti perkembangan mode, itu yang kurang dari franchisor”, katanya.

Yulianti hanya mengalami support dan bantuan yang prima di 3 bukan pertama. Franchisor ikut mendampingi dalam waktu tiga bulan tersebut. Setelah itu, Yulianti seperti ayam yang kehilangan insuknya. Bahkan, Yulianti harus beriklan sendiri karena tidak di support oleh franchisor setelah 3 bulan pertama itu.

Yulianti saat ini masih tercatat  dan menjalani bisnis kecantika  tersebut, tetapi satu outletnya sudah ditutup yang dimall kelapa gading. Karena dari sisi lokasi yang dipilihkan, oleh franchisornya itu, menurut yulianti tidak strategis. Tetapi, bisnisnya yang di mall karawaci masih berjalan.

lanjutan artikel

Pengalaman Franchisee yang Tidak Happy 2



Artikel ini adalah lanjutan dari bagian 1
Singkat cerita, bisnis itupun di franchisekan. Bimada pun happy karena bisa menjadi bagian dari bisnis tersebut.  Ternyata, tidak hanya Bimada yang melihat bisnis tersebut punya peluang bagus. Banyak calon-calon franchisee yang yang melamar untuk menjadi franchisee.

Maklum saja, di beberapa cabang, bisnis mie dengan merk tersebut terlihat sukses menginngat konsumennya selalu membludak. Bakan, bisnis mie itu banyak menjadi buah bibir di kalangan konsumen.

Tapi apa yang terjadi pada Bimada. “Menyakitkan,” kata Bimada mengingat pengalamannya menjadi franchisee di bisnis tersebut.

Pengalaman Bimada memang tidak berlaku general. Akan tetapi, Bimada bisa menjadi perwakilan dari setiap kelompok franchisee di sebuah bisnis yang mengalami kekecewaan berat.

Apa yang membuat dia kecewa? “Kita sebagai franchisee kan harapannya tidak terlalu kerja keras. Harapannya duitnya banyak. Harapan saya tidak pelrlu membangun lagi. Ternyata, saya harus bangun lagi,” kisahnya.

Dari sisi profitpun Bimada mengaku sangat kecil. Tetapi yang membuatnya kecewa adalah support SDM yang diberikan oleh franchisor tidak memenuhi standar bisnis resto yang membutuhkan layanan baik.

Bimada harus menelan kegagalan di bisnis itu. Bagi Bimada, kegagalan bukan datang dari dirinya, tetapi dari franchisor yang tidak prima menyediakan support, termasuk sytem.  Training yang diberikan hanya dalam waktu singkat, yang tidak cukup baginya untuk mengadopsi keahlian untuk menjalankan bisnis tersebut.

Bimada pun gagal. Namun, kini Bimada meng-create bisnis serupa tanpa membeli hak waralaba. Kegagalan dalam bisnis franchise pertamanya tidak membuat Bimada kapok. Dia masih berniat untuk membeli bisnis franchise. “Tetap masih ada niat, tapi yang saya ambil nanti adalah franchise luar negeri,” katanya.

lanjutan artikel

Pengalaman Franchisee yang Tidak Happy



Pengalaman Franchisee yang Tidak Happy
Menjalankan bisnis Franchise sebagai franchisee tidak selamanya membuat happy. Kekecewaan bisa juga terjadi. Mengapa franchisee bisa kecewa?

Bimada saat ini menjaslani bisnis sendiri yang tidak terkait dengan franchise. Keputusan itu diambil satu thun lalu setelah franchisor di bisnis yang dibelinya tidak memenuhi ekspektasinya.

Sebelumnya, Bimada membeli hak waralaba bisnis mie karena dia tidak punya pengalaman untuk membangun bisnis.

Kinerja bisnis yang dibelinya itu menurut pengakuan Bimada lumayan bagus meskipun dari sisi profitnya tidak terlalu besar. Namun, bisa jalan. Lagi pula, Bimada memilih bisnis itu bukan karen tawaran franchisor, melainkan karena ketertarikannya sendiri.

Saat itu, tutur Bimada, dia melihat sebuah bisnis yang menjual mie dipenuhi konsumen setiap hari. Pokoknya, laku keras deh. Dia pun mencari tahu, siapa pemilik bisnis itu. Dengan semangat tinggi, dia meminta pemilik bisnis itu untuk melepas hak waralabanya.

Asal tahu saja, bisnis itu belum di franchisekan oleh pemiliknya ketika Bimada berniat membeli hak waralaba. “saya yang ngerayu dia (franchisor) waktu itu , karena bisnisnya ramai (dikunjungi konsumen) makanya saya rayu,” tutur Bimada.

lanjutan artikel