Artikel ini adalah lanjutan dari bagian 1
Satu hal, dari pengalaman dua franchisee ini, ketika bisnis itu mulai mengalami penurunan, saran sederhana adalah dengan beriklan. Padahal, jauh dari itu, franchisee membutuhkan kedamaian psikologis dalam menjalankan bisnis sehingga apapun langkahyang ingin dilakukan untuk memajukan bisnis bisa dilakukan dengan happy.
Satu hal, dari pengalaman dua franchisee ini, ketika bisnis itu mulai mengalami penurunan, saran sederhana adalah dengan beriklan. Padahal, jauh dari itu, franchisee membutuhkan kedamaian psikologis dalam menjalankan bisnis sehingga apapun langkahyang ingin dilakukan untuk memajukan bisnis bisa dilakukan dengan happy.
Perilaku
franchisor terhadap franchisee dan bisnisnya tidak bisa diabaikan begitu saja.
Bahkan nama baik franchisor yang tercoreng atau image franchisor yang jatuh,
bisa berdampak pada bisnis. Sebut saja, sebuah bisnis resto yang franchisornya
dikenal berpoligami membuat konsumen yang umumnya keluarga harus
meninggalkannya. Sehingga para franchisee ikut dirugikan.
Di sini,
franchisor perlu menjadi bagian dari visi bisnis bahwa kesuksesan harus diaraih
bersama dan tanggung jawabpun harus dibagi berdasarkan porsinya yang adil,
sehingga bisnis bisa dijalankan dengan perpaduan sinergi franchisor dan
franchisee.
Tetapi perlu
dicatat, di setiap bisnis selalu ada yang gagal, tidak hanya yang sukses saja.
Namun, jika faktor kegagalan bisa didiagnosa, sejak dini, bisnis tidak perlu
gagal, dan franchisee tidak perlu kecewa. Apalagi bisnis franchise memiliki
banyak resep anti gagal. Jika franchisee dan franchisor mengikuti langkah ini,
seperti berbagai survey menyebutkan, bahwa kegagalan di bisnis franchise hanya
sedikit saja, yakni maksimal sekitar 15% . Jauh di bawah ratio kegagalan bisnis
konvensional yang mencapai 65%.