Artikel ini adalah lanjutan dari bagian 1
Pandangan positif ketika hendak membeli hak waralaba terhadap bisnis franchise mulai terbalik dengan pengalaman Yulianti di bisnisnya itu. Menurutnya, bukan support yang didapatkan dari franchisenya, tetapi justru pressure. Bahkan, tanpa bantuan yang baik, justru kata Yulianti , franchisornya ingin menaikkan harga. “Lama kelamaan kok kita yang terus di push.” Tuturnya dengan nada kecewa.
Pandangan positif ketika hendak membeli hak waralaba terhadap bisnis franchise mulai terbalik dengan pengalaman Yulianti di bisnisnya itu. Menurutnya, bukan support yang didapatkan dari franchisenya, tetapi justru pressure. Bahkan, tanpa bantuan yang baik, justru kata Yulianti , franchisornya ingin menaikkan harga. “Lama kelamaan kok kita yang terus di push.” Tuturnya dengan nada kecewa.
Menurut
Yulianti, karena tidak ditunjang sepenuhnya oleh inovasi, kemuadian standar SDM
nya yang kurang baik karena training yang diberikan tidak bagus, sehingga
kinerja bisnisnya tidak maksimal.
Baik Bimada
maupun Yulianti mengaku salah memilih franchisor. Seharusnya, kata mereka franchisor memiliki pengalaman
yang kuat dan juga komitmen yang tinggi untuk bisa mendorong sukses
franchiseenya.
Yulianti dan
Bimada hanya sedikit dari merek yang mengalami pengalaman yang pahit dengan
franchisornya. Meski tidak semua franchisor seperti yang digambarkan itu, namun
franchisor yang hanya bisa membantu di tiga bulan pertama saja, tidak membuat
bisnis itu bisa berkembang. Sebab, kerugian tidak hanya bagi franchisee, tetapi
jaringan bisnis frnchisorpun bisa terhambat. Sebab, franchisee menjadi salah
satu bukti sukses yang bisa merangsang calon-calon franchisee berdatangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar